Hari ini kita hidup pada
masa di mana kekuasaan berada pada media sosial dan validitas atas suatu
informasi ditentukan oleh "how it
feels", bukan "how it is"
(istilah ini digunakan oleh Berthon & Pitt untuk menjelaskan perasaan atau
emosi atas sesuatu lebih sering digunakan daripada kenyataan atas sesuatu).
Fenomena ini dikenal dengan istilah "truthiness",
dunia bekerja sesuai dengan yang engkau harapkan, tidak lagi objektif seperti
mesin.
Masyarakat
(khususnya, netizen) mudah sekali percaya (bahkan bisa langsung percaya!) pada
informasi apapun yang beredar di media sosial. Orang sangat malas membuktikan
validitas informasi sehingga mereka semakin mudah ditipu. Sesuatu yang viral
seolah adalah informasi yang benar. Termasuk pesan berantai di grup whatsapp yang mudah sekali
dipercaya para orang tua yang suka membagikan ke grup lain tanpa menguji
validitasnya terlebih dahulu.
Di Indonesia,
selain isu agama yang sangat sensitif dan cepat menyebar adalah isu politik dan
prostitusi. Kubu politik yang berseberangan tinggal memainkan isu di media
sosial, berita baik tentang kubu sendiri dan sebaliknya untuk kubu lawan.
Begitu juga kasus prostitusi, bisa langsung menyulut emosi masyarakat.
Masyarakat sangat mudah terpancing emosinya daripada akalnya. Hal ini
membuktikan bahwa masyarakat hari ini memang tidak seimbang dalam menggunakan
emosi dan akalnya. Masyarakat kita berada dalam kekacauan di media sosial.
Apa dampak kondisi
sosial ini terhadap industri musik? Akibat kondisi masyarakat berada di bawah
kekuasaan media sosial, musisi akan dianggap baik dan sukses jika memiliki
banyak followers. Kesuksesan suatu
album musik dinilai dari banyaknya penjualan album baik fisik maupun digital.
Bagus atau jeleknya suatu karya musik dinilai dari banyaknya likes dan komentar positif yang diberikan.
Kekuasaan media sosial seolah-olah menjadi kurator musik yang menuntut musisi
untuk tampil dengan citra palsu yang disukai oleh para penggemar.
Mengapa fenomena
ini bisa terjadi? Baiklah kita bahas secara singkat perkembangan masyarakat
dari modern menjadi pasca-modern, karena kita tidak bisa langsung menyalahkan
media sosial.
Newton adalah salah
satu ilmuwan yang turut memberikan sumbangan dalam melahirkan sains modern,
membuat masyarakat modern melihat dunia secara lebih objektif. Perspektif
masyarakat bergeser dari lokal menjadi universal. Seperti hukum gravitasi
(hukum alam) yang bersifat universal, mestinya juga ada hukum hak asasi manusia
yang bersifat universal, maka lahirlah hukum-hukum seperti gender, kelas, dan
lain-lain. Tujuan sains modern adalah kebenaran objektif.
Namun, jika
kebenaran bersifat objektif, bagaimana dengan hal-hal seperti nilai-nilai,
keindahan, dan seterusnya? Jika semua kebenaran bersifat objektif, dunia ini
akan hampa makna, bukan? Atas dasar itulah para pemikir pasca-modern (misalnya
Bourdieu) secara garis besar mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang
objektif.
Salah satu pemikir
pasca-modern, Foucault, pemikirannya yang terkenal (Power and Knowledge) mengatakan bahwa di balik setiap klaim
kebenaran terdapat kekuasaan yang memiliki otoritas untuk memaksakan kebenaran
menurut otoritas tersebut agar dipercaya oleh yang lain. Sehingga menurut
Foucault kekuasaanlah yang lebih menentukan yang mana yang benar daripada
objektivitas dan rasionalitas.
Inilah kondisi hari
ini, kondisi di mana media sosial berkuasa, kebenaran yang diproduksi oleh
misalnya akun-akun gosip atau akun tokoh publik menjadi kebenaran yang seolah
harus masyarakat yakini juga. Sesuatu yang viral adalah kebenaran yang harus
diterima oleh masyarakat. Di kolom komentar (instagram, misalnya) semua orang
dapat berkomentar dan mampu memberi penilaian hanya dengan modal perasaan
(bukan otak!), bahkan meskipun informasi yang disajikan adalah berita palsu.
Kondisi masyarakat
pasca-modern yang lebih mengutamakan "how
it feels" daripada "how it
is" ini membuat para pengiklan harus membuat slogan hiperbola atas
produknya. Minuman tidak lagi menghilangkan rasa hausmu, melainkan memberimu
kebahagiaan. Makanan tidak lagi membuatmu kenyang, melainkan membuatmu keren.
Buku tidak lagi untuk mengisi otakmu, melainkan untuk mengisi feed instagrammu.
Kepalsuan di balik
slogan atau iklan memang sudah lama menjadi cara kerja pemasaran. Sudah sejak
lama merk-merk dibangun untuk lebih memuaskan emosi daripada rasionalitas.
Sehingga citra yang dibangun oleh sebuah merk tidak mesti sesuai dengan
kenyataan objektif suatu produk.
Para
musisi yang bebeberapa
tahun belakangan ini berbondong-bondong meninggalkan (atau
berhenti ingin masuk) major label,
mulai melek bisnis dan mengelola bisnis musiknya sendiri. Mereka belajar
bagaimana cara membangun dirinya sebagai sebuah merk yang layak jual dalam
industri. Mereka menciptakan pasar mereka sendiri.
Sayangnya, pada hari
di mana media sosial berkuasa ini, musisi turut mengambil peran dalam
menggunakan cara kerja pemasaran dari perspektif pasca-modern. Lagu protes dan
perlawanan dinyanyikan tidak lagi untuk memberontak, melainkan untuk
mengekspansi pasar karena "radikal itu menjual" (meminjam judul buku
Heath & Potter).
Di akun
instagramnya, para musisi membangun kepribadian palsu. Mereka bersuara soal
lingkungan bukan karena cinta lingkungan tapi untuk membangun citra yang baik.
Mereka bersuara soal lingkungan dengan membuat festival di hutan pinus karena
itu keren dan banyak peminatnya, berbau alam dan anti-mainstream.
Menanggapi fenomena
“truthiness” ini, beberapa penelitian
di bidang pemasaran (misalnya Berthon & Pitt dalam artikelnya yang berjudul
“Brand, Truthiness and Post-Fact:
Managing Brands in a Post-Rational World”) memberi tawaran solusi untuk
kembali menggunakan perspektif modern dalam beberapa hal. Menurut mereka, merk
seharusnya merupakan refleksi atas kenyataan produk. Dibangun dengan kerja
keras, bukan dengan kepalsuan. Selain itu, merk sebaiknya dipandang sebagai
proses, bukan sebagai objek. Sebagai proses, merk akan dinamis dari waktu ke
waktu karena
digerakkan oleh kenyataan
kualitas yang ditawarkan.
Akhirnya,
kesimpulan kita, apakah musisi masih perlu membangun citra palsu hanya demi
memuaskan para penggemarnya? Atau haruskah musisi berproses untuk memiliki
kualitas baik daripada membangun citra baik dari kepalsuan? Ataukah musisi saat
ini memang memandang jumlah followers
atau likes sebagai suatu standar
estetika baru?
0 komentar:
Posting Komentar