esok belum pasti aku 'kan perlu bernyanyi

Senin, 12 Agustus 2019


Hari ini kita hidup pada masa di mana kekuasaan berada pada media sosial dan validitas atas suatu informasi ditentukan oleh "how it feels", bukan "how it is" (istilah ini digunakan oleh Berthon & Pitt untuk menjelaskan perasaan atau emosi atas sesuatu lebih sering digunakan daripada kenyataan atas sesuatu). Fenomena ini dikenal dengan istilah "truthiness", dunia bekerja sesuai dengan yang engkau harapkan, tidak lagi objektif seperti mesin.
Masyarakat (khususnya, netizen) mudah sekali percaya (bahkan bisa langsung percaya!) pada informasi apapun yang beredar di media sosial. Orang sangat malas membuktikan validitas informasi sehingga mereka semakin mudah ditipu. Sesuatu yang viral seolah adalah informasi yang benar. Termasuk pesan berantai di grup whatsapp yang mudah sekali dipercaya para orang tua yang suka membagikan ke grup lain tanpa menguji validitasnya terlebih dahulu.
Di Indonesia, selain isu agama yang sangat sensitif dan cepat menyebar adalah isu politik dan prostitusi. Kubu politik yang berseberangan tinggal memainkan isu di media sosial, berita baik tentang kubu sendiri dan sebaliknya untuk kubu lawan. Begitu juga kasus prostitusi, bisa langsung menyulut emosi masyarakat. Masyarakat sangat mudah terpancing emosinya daripada akalnya. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat hari ini memang tidak seimbang dalam menggunakan emosi dan akalnya. Masyarakat kita berada dalam kekacauan di media sosial.
Apa dampak kondisi sosial ini terhadap industri musik? Akibat kondisi masyarakat berada di bawah kekuasaan media sosial, musisi akan dianggap baik dan sukses jika memiliki banyak followers. Kesuksesan suatu album musik dinilai dari banyaknya penjualan album baik fisik maupun digital. Bagus atau jeleknya suatu karya musik dinilai dari banyaknya likes dan komentar positif yang diberikan. Kekuasaan media sosial seolah-olah menjadi kurator musik yang menuntut musisi untuk tampil dengan citra palsu yang disukai oleh para penggemar.
 Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Baiklah kita bahas secara singkat perkembangan masyarakat dari modern menjadi pasca-modern, karena kita tidak bisa langsung menyalahkan media sosial.
Newton adalah salah satu ilmuwan yang turut memberikan sumbangan dalam melahirkan sains modern, membuat masyarakat modern melihat dunia secara lebih objektif. Perspektif masyarakat bergeser dari lokal menjadi universal. Seperti hukum gravitasi (hukum alam) yang bersifat universal, mestinya juga ada hukum hak asasi manusia yang bersifat universal, maka lahirlah hukum-hukum seperti gender, kelas, dan lain-lain. Tujuan sains modern adalah kebenaran objektif.
Namun, jika kebenaran bersifat objektif, bagaimana dengan hal-hal seperti nilai-nilai, keindahan, dan seterusnya? Jika semua kebenaran bersifat objektif, dunia ini akan hampa makna, bukan? Atas dasar itulah para pemikir pasca-modern (misalnya Bourdieu) secara garis besar mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang objektif.
Salah satu pemikir pasca-modern, Foucault, pemikirannya yang terkenal (Power and Knowledge) mengatakan bahwa di balik setiap klaim kebenaran terdapat kekuasaan yang memiliki otoritas untuk memaksakan kebenaran menurut otoritas tersebut agar dipercaya oleh yang lain. Sehingga menurut Foucault kekuasaanlah yang lebih menentukan yang mana yang benar daripada objektivitas dan rasionalitas.
Inilah kondisi hari ini, kondisi di mana media sosial berkuasa, kebenaran yang diproduksi oleh misalnya akun-akun gosip atau akun tokoh publik menjadi kebenaran yang seolah harus masyarakat yakini juga. Sesuatu yang viral adalah kebenaran yang harus diterima oleh masyarakat. Di kolom komentar (instagram, misalnya) semua orang dapat berkomentar dan mampu memberi penilaian hanya dengan modal perasaan (bukan otak!), bahkan meskipun informasi yang disajikan adalah berita palsu.
Kondisi masyarakat pasca-modern yang lebih mengutamakan "how it feels" daripada "how it is" ini membuat para pengiklan harus membuat slogan hiperbola atas produknya. Minuman tidak lagi menghilangkan rasa hausmu, melainkan memberimu kebahagiaan. Makanan tidak lagi membuatmu kenyang, melainkan membuatmu keren. Buku tidak lagi untuk mengisi otakmu, melainkan untuk mengisi feed instagrammu.
Kepalsuan di balik slogan atau iklan memang sudah lama menjadi cara kerja pemasaran. Sudah sejak lama merk-merk dibangun untuk lebih memuaskan emosi daripada rasionalitas. Sehingga citra yang dibangun oleh sebuah merk tidak mesti sesuai dengan kenyataan objektif suatu produk.
Para musisi yang bebeberapa tahun belakangan ini berbondong-bondong meninggalkan (atau berhenti ingin masuk) major label, mulai melek bisnis dan mengelola bisnis musiknya sendiri. Mereka belajar bagaimana cara membangun dirinya sebagai sebuah merk yang layak jual dalam industri. Mereka menciptakan pasar mereka sendiri.
Sayangnya, pada hari di mana media sosial berkuasa ini, musisi turut mengambil peran dalam menggunakan cara kerja pemasaran dari perspektif pasca-modern. Lagu protes dan perlawanan dinyanyikan tidak lagi untuk memberontak, melainkan untuk mengekspansi pasar karena "radikal itu menjual" (meminjam judul buku Heath & Potter).
Di akun instagramnya, para musisi membangun kepribadian palsu. Mereka bersuara soal lingkungan bukan karena cinta lingkungan tapi untuk membangun citra yang baik. Mereka bersuara soal lingkungan dengan membuat festival di hutan pinus karena itu keren dan banyak peminatnya, berbau alam dan anti-mainstream.
Menanggapi fenomena “truthiness” ini, beberapa penelitian di bidang pemasaran (misalnya Berthon & Pitt dalam artikelnya yang berjudul “Brand, Truthiness and Post-Fact: Managing Brands in a Post-Rational World”) memberi tawaran solusi untuk kembali menggunakan perspektif modern dalam beberapa hal. Menurut mereka, merk seharusnya merupakan refleksi atas kenyataan produk. Dibangun dengan kerja keras, bukan dengan kepalsuan. Selain itu, merk sebaiknya dipandang sebagai proses, bukan sebagai objek. Sebagai proses, merk akan dinamis dari waktu ke waktu karena digerakkan oleh kenyataan kualitas yang ditawarkan.
Akhirnya, kesimpulan kita, apakah musisi masih perlu membangun citra palsu hanya demi memuaskan para penggemarnya? Atau haruskah musisi berproses untuk memiliki kualitas baik daripada membangun citra baik dari kepalsuan? Ataukah musisi saat ini memang memandang jumlah followers atau likes sebagai suatu standar estetika baru?

0 komentar:

Posting Komentar