Kredit Gambar: HANKESTRA Management |
Oleh: Ragil C.
Maulana (Pustakawan, Aktivis Gubuk Cerita)
LAGU
adalah bahan bacaan yang sama baiknya seperti buku. Kita bisa membaca banyak
hal dari lagu, mulai dari komposisi liriknya, komposisi nadanya, intensinya
pada bagian-bagian tertentu, semangat estetis atau tendensi politis yang
melatarinya, hingga proses-proses kreatif yang melingkupi lagu itu. Pendengar
pun dapat membangun sebuah dunia-imaji dari lagu persis seperti saat mereka
membaca buku; lagu tak hanya menjadi pemanis kisah tapi ia adalah kisah itu
sendiri—di sini kita bisa menempatkan lagu sebagai sastra.
Han,
salah satu anggota HANKESTRA, merasa proses pembacaan seperti tadi kian jarang
dilakukan pendengar, setidaknya pendengar lagu-lagu HANKESTRA sendiri. Menurut
Han, “Banyak orang datang ke konser, dengar lagu-lagu dimainkan, lalu setelah
selesai ya sudah, mereka kembali pulang seolah nggak ada apa-apa.” Di
sini Han sedang merujuk pada para pendengar yang menjadikan lagu sebagai
‘pelarian’ semata; orang-orang yang sudah terlampau penat diimpit jam kerja dan
berusaha ‘lari’ dari kepenatannya itu dengan mencandu lagu.
Salah
satu tanda kelangkaan proses pembacaan itu adalah minimnya kritik. Kita bisa
bicara banyak soal lagu sebagai kritik—lagu-lagu yang muncul dari atau dalam
isu-isu tertentu—tapi kita akan kesulitan bicara lebih lanjut jika harus
membahas kritik lagu, terutama kritik terhadap karya-karya musisi Malang
sendiri. Kritik tentu saja tak bisa lahir dari pendengaran sambil lalu, ia
mustilah berasal dari persetubuhan artistik yang intim dan intens atau dengan
kata lain: kritik hanya bisa muncul jika ada tradisi pembacaan mendalam
terhadap lagu.
HANKESTRA
berusaha merespons krisis pembacaan itu dengan merilis lagu-lagu dari album
terbarunya dalam format Konser 1 Lagu. Grup musik yang sudah beraksi
sejak 2013 ini hanya akan memainkan satu judul lagu pada tiap konser yang akan
digelar secara berkala. Format konser semacam itu dipilih HANKESTRA untuk
memberi ruang pembacaan dengan porsi yang sama pada tiap lagu. “Kalau kita
rilis album, orang cenderung hanya akan dengar satu-dua lagu yang dia suka dan
mengabaikan lagu-lagu lainnya,” terang Han.
Judul
pertama yang akan dimainkan pada 5 Maret 2017 esok adalah Krisis. Judul
ini, menurut Han, lahir dari pembacaan terhadap krisis yang dialami dirinya
sendiri. Krisis itu tak lain adalah kemiskinan ekonomi, yang juga merupakan
pengalaman keseharian banyak orang. Tapi, pendengar tentu bisa menautkan
interpretasinya pada krisis-krisis yang lain dari lagu ini. Pendengar bisa
membaca posisi dirinya dalam krisis semacam apa yang telah, sedang, atau bahkan
akan terjadi.
Krisis
tak
hanya menjadi sajian perdana, tapi juga menjadi pintu masuk bagi rumah tradisi
pembacaan yang hendak dibangun HANKESTRA. Pembacaan terhadap Krisis juga
adalah usaha menyadari keterlibatan kita dalam menciptakan krisis tertentu,
salah satunya adalah krisis membaca. Ada begitu banyak bahan bacaan muncul
setiap detik, mulai dari lagu hingga hujan yang turun kian tak menentu, dan
kita—manusia modern penghamba kerja ini—kian tak punya waktu untuk membaca itu
semua; peningkatan kesadaran hasil membaca menjadi tak lebih penting dari
peningkatan upah dan isi tabungan hasil kerja. Lagu, dalam kealpaan kesadaran
yang kian banal itu, memang sepatutnya tak sekadar hadir untuk menjadi hiburan
sambil lalu, tapi juga menjadi bacaan pengisi waktu.
Sebuah Pengantar Apresiasi: Ikan Apa yang Kalau dipegang Membesar?
Oleh: Han
Farhani (Vokalis HANKESTRA)
“Melalui
kemiskinan ini kami sampaikan salam kepada Francois Noel Babeuf, Claude Henri
Saint-Simon, Robert Owen, Charles Fourier, Etienne Cabet, Louis-Auguste
Blanqui, Weitling, Pierre-Joseph Proudhon, Louis Blanc, Moses Hess, Karl Marx,
Engels, Vladimir Ilyc Lenin, Leon Trotsky, Georg Lukacs, Karl Korsch, Antonio
Gramsci, Ernst Blach, Karel Kosik, Max Horkheimer & Adorno, Mao Zedong,
Herbert Marcuse, dan Tan Malaka,” begitu kata saya di intro lagu yang saya beri
judul “Krisis”. Bagi saya sangat menyenangkan bermain-main dengan
pemikiran-pemikiran tokoh dunia di atas. Waktu itu, sama seperti ratusan
mahasiswa lain yang suka membaca.
Terutama
dalam keadaan perut lapar, merenungi gagasan-gagasan besar tokoh-tokoh di atas
merupakan hiburan yang luar biasa bagi saya secara pribadi. Sehingga lahirlah
lagu yang saya anggap sebagai bentuk dialog metafisika saya dengan arwah-arwah
mereka, karena menurut saya mereka ingin tahu apa jadinya kehidupan masyarakat
setelah lama mereka tinggalkan. Saya gambarkan keadaan diri saya sewaktu
menempuh pendidikan S1 di jurusan akuntansi dalam lagu ini dengan lirik lagu
berima yang umum-umum saja. Waktu itu saya miskin, tidak punya uang. Setiap
hari saya harus memutuskan untuk membeli makan atau rokok, karena keduanya
tidak mungkin, uang saku bulanan saya hanya 500 ribu rupiah. Biasanya kalau
mendesak saya meminjam uang teman, meskipun agak sulit juga untuk menggantinya.
Atas
dasar pertimbangan estetis, saya menggunakan kata “krisis” untuk menggambarkan
keadaan saya yang seringkali miskin secara finansial. Meskipun pada akhirnya
pintu untuk interpretasi para penikmat lagu ini tetap terbuka lebar. Bisa saja
krisis yang saya maksud adalah krisis pemikiran, karena kemiskinan hanya
merupakan sudut pandang, sangat tergantung dari paradigma yang kita gunakan.
Proses
penulisan lagu ini tidak berbelit-belit, langsung selesai dalam sekali tulis
dalam satu malam. Hal ini mungkin disebabkan oleh secara teknis saya hanya
menggunakan progresi blues 12 bar yang saya rasa cocok untuk lagu ini. Saya rasa
cocok karena blues 12 bar telah digunakan selama berpuluh-puluh tahun oleh
ratusan bahkan mungkin ribuan musisi di seluruh dunia. Blues 12 bar adalah
“kekayaan” yang dimiliki bersama karena sejauh pengetahuan saya belum pernah
ada yang mengklaimnya sebagai “kekayaan” pribadi.
Lagu
ini karena saya anggap sebagai dialog metafisika dengan arwah para tokoh di
atas, saya teringat pada Charles Fourier yang pernah berkhayal bahwa suatu hari
nanti akan ada binatang anti-singa yang memiliki sifat-sifat kebalikan dari
singa. Karena saya senang menghubung-hubungkan sesuatu yang tidak berhubungan,
belakangan ini saya terinspirasi oleh seorang anak SD yang ketika disuruh oleh
Presiden Joko Widodo untuk menyebutkan nama-nama ikan, anak itu menyebutkan:
ikan teri, ikan lele, ikan paus, dan ikan kont**. Kemudian saya berkhayal kalau
saja ada ikan kont** yaitu ikan (bisa juga berarti: lauk) yang kalau dipegang
membesar (anti-ikan).
Bayangkan
saja kalau ada ikan yang memiliki sifat demikian, kita tidak perlu berebutan
makanan, ikan itu akan membesar ketika dipegang. Akhirnya di tengah-tengah lagu
saya melemparkan sebuah teka-teki kepada Fourier: ikan apa yang kalau dipegang
membesar? Ikan kont**. Tentunya kata ini saya sensor di dalam lagu karena masih
sangat tabu di dalam masyarakat kita. Meskipun secara pribadi saya rasa itu
tidak masalah. Di saat bangsa lain sibuk menerbangkan roket dan mengembangkan
ilmu pengetahuan, bangsa kita masih sibuk dengan urusan tata krama dan sopan
santun yang sebenarnya menghambat perjalanan bangsa ini. Meskipun demikian,
sekali lagi, kata itu saya sensor di dalam lagu.
Sebagai
pengantar apresiasi lagu saya yang berjudul “Krisis” saya rasa tulisan ini
sudah cukup. Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa singkatnya
lewat lagu “Krisis” ini saya bertanya kepada kita semua: gagasan besar apa di
peradaban “abad” kita ini yang akan lahir berikutnya untuk mewujudkan
kesejahteraan?.
Tentang “Konser 1 Lagu”
Setelah sekian
banyak pertunjukan-pertunjukan yang ada di dunia ini, terkadang ada penonton
yang berserakan, ya berserakan saja, pulang dengan tangan hampa dan seolah
tidak pernah terjadi pertunjukan apa pun. Terkadang ada pula penonton yang
hanya dua atau tiga orang, tapi pulang membawa renungan atau tak jarang pula
memiliki sikap yang baru. Bagaimana pun, itu adalah hak penonton.
Konser 1 Lagu
ini adalah konser yang hanya membawakan satu lagu saja, cukup. Tapi sebelum
lagu dimainkan dan konser digelar, pengantar apresiasi soal lagu yang akan
dibawakan telah disebarkan, yang selama ini masih jarang dilakukan oleh
musisi-musisi kita (pengantar apresiasi yang dimaksud bukan hanya press release saja). Sehingga pada saat
konser berlangsung, fokus kita (musisi sebagai presenter dan penonton sebagai tamu terhormat) hanya ada pada satu
lagu itu saja, cukup, kemudian bubar jalan. Konser ini kemudian akan
berlangsung tepat waktu. Katakanlah konser ini diadakan pada pukul 21.00, maka
tepat pada pukul 21.00 lagu akan dimainkan, sedikit atau banyak penonton, tidak
perlu menunggu.
Tentang
HANKESTRA
HANKESTRA merupakan sebuah kelompok
musik yang secara de jure dan de facto terdiri dari: Han Farhani
(vokal, gitar/keyboard), Feri H. Said (gitar), Hamdan “Kucing” Arrasyid (bass),
dan Leon Nauval Lolang (drum/cajon, harmonika). Pada tahun 2015 sukses
melahirkan sebuah album yang bertajuk “Ops. Bismika”. Musik yang dibawakan
tidak terkotak pada satu genre
tertentu meskipun tetap mendapatkan pengaruh dari musik-musik seperti ballad, blues, rock n’ roll, dan sejenisnya.
Secara organisasi HANKESTRA memegang
nilai-nilai “Persaudaraan, cita-cita, dan keberuntungan!”. Karena tidak
memiliki studio pribadi, HANKESTRA biasa ditemukan di warung-warung kopi
terdekat untuk berlatih maupun tidak berlatih. Meskipun demikian HANKESTRA
tetap berusaha mencoba untuk merekam lagu-lagunya secara sederhana dengan
konsep Home Recording, tentunya
dengan bantuan Virga Prayogo, salah seorang teman mereka, yang biasa dilakukan
di Jl. Saxofone Perum Permata Saxofone E10, Tunggulwulung, Malang. Untuk
informasi formal dapat dilihat di www.hankestra.com,
untuk akun media sosial juga dapat diikuti di Facebook: Hankestra, Twitter:
@hankestramusic, Instagram:
@hankestra, dan Soundcloud:
HANKESTRA.