Kredit Gambar: maxpixel.freegreatpicture.com |
Persoalan yang paling mendasar dalam
industri musik adalah kebutuhan musisi agar musiknya dapat “menjumpai”
pendengarnya, tidak hanya sebatas distribusi karya baik secara fisik maupun
digital. Maka memahami pola industri dan perilaku pendengar dalam kemajuan
teknologi merupakan hal yang sangat penting bagi musisi dalam era teknologi
ini. Kemajuan pesat teknologi akhir-akhir ini tentu saja ikut mengubah
model-model bisnis dalam industri musik. Penelitian-penelitian akademik bahkan
telah dilakukan di banyak bidang di dunia internasional untuk merumuskan
model-model bisnis yang dapat diaplikasikan dalam memasuki era industri musik baru
(digital) yang menjadi bagian dari industri musik abad XXI. Abad XII ini sangat
membuka peluang bagi musisi untuk melakukan kolaborasi (kolaborasi juga bisa
berarti membentuk/mengelola jaringan) dengan bidang-bidang selain musik.
Uniknya, kolaborasi ini tidak hanya kolaborasi dengan bidang kesenian lain (puisi,
teater, dan sejenisnya) tetapi juga bidang-bidang selain kesenian. Kemampuan
untuk berkolaborasi inilah yang harus dimiliki oleh musisi-musisi abad ini
sebagai dampak dari demokratisasi teknologi musik.
Industri musik populer (jazz, blues, punk,
rock, dll) menjadi lebih fleksibel ketika dihadapkan dengan perkembangan
teknologi. Teknologi yang dimaksud ini mencakup banyak aspek mulai dari
teknologi rekaman, distribusi, hingga mengelola/merawat penggemar. Sebagai contoh,
musisi tidak dapat lagi memaksakan para pendengar musiknya untuk selalu membeli
rilisan fisik dan mendengarkan musik melalui CD player. Perilaku pendengar
telah berubah demikian cepat. Saat ini orang-orang umumnya mendengarkan musik
secara streaming melalui misalnya soundcloud dan youtube. Musisi sebagai
produsen musik harus mau menerima kenyataan ini dan memahami pola baru dalam
industri.
Perilaku para penggemar pun kini telah
beralih menjadi sangat “aktif”, artinya memiliki kontribusi yang signifikan
bagi karir musisi. Lewat media sosial, para penggemar ini bisa menyebarkan
ulang apa pun hal terkait kegiatan dan produk para musisi, misalnya album baru,
jadwal konser, dan seterusnya. Pendengar merupakan sejawat kolaborasi yang
sangat baik di era ini.
Dalam industri musik populer, ada lima
sumber pendapatan utama yaitu live
performance, merchandise, song publishing, recorded music, dan sponsorship deals. Berdasarkan lima
sumber ini maka muncul tiga model bisnis (berdasarkan penelitian Hughes, Evans,
Morrow, dan Keith) yaitu model 360, model enterpreneur,
dan model DIY. Pada model 360, label berperan sebagai perantara antara musisi
dan pendengarnya secara 360 derajat. Model bisnis ini merupakan model lama atau
mainstream yang biasanya digunakan
oleh perusahaan major label. Kemudian karena model 360 ini bagi beberapa
perusahaan sangat berisiko, muncul model wirausaha. Dalam model wirausaha,
musisi dapat menentukan sendiri mana yang menjadi perantaranya. Label hanya
mengelola hal yang menjadi keahliannya, tidak secara 360 derajat. Misalnya
label A hanya melakukan rekaman, label B melakukan distribusi, dan label lain
melakukan yang lain lagi. Label berperan sebagai penyedia jasa saja. Musisilah
yang memilih dan membayar label mana yang akan digunakan, dengan begitu musisi
tetap memiliki asetnya secara keseluruhan. Model ketiga adalah model DIY (do-it-yourself). Model ini lahir dari
fenomena musik punk tahun 1980 yang kemudian berkembang hingga saat ini.
Perangkat media pribadi saat ini sudah bisa memfasilitasi karir dengan model
DIY. Musisi dapat merekam musiknya sendiri, juga memasarkannya melalui outlet-outlet digital. Meskipun
penjualan CD telah jauh mengalami penurunan, musisi saat ini lebih mudah untuk
melakukan pemasaran secara online.
Itulah yang membuat era sekarang ini seperti kebanjiran rilis musik.
Konsekuensinya, para musisi DIY harus melakukan semua pekerjaannya sehingga
mengalami load pekerjaan yang tinggi.
Musisi harus memiliki kemampuan untuk mengelola karirnya sendiri.
Secara finansial, musisi DIY harus
menanggung resiko bisnisnya 100 persen. Kerugian ditanggung sendiri, pun jika
mengalami keuntungan yang besar. Berbeda dengan model 360, kerugian menjadi
tanggungan label dan kalaupun untung besar, musisi belum tentu mendapatkan
bagian yang besar pula karena dari eksploitasi inilah keuntungan yang diperoleh
perusahaan major label. Menurut para ahli bisnis, model DIY inilah yang akan
menjadi “jurus” untuk memasuki industri musik abad ini. Meskipun sebenarnya ada
banyak model selain tiga model yang disebutkan di atas. Model DIY ini pun telah
berkomparasi dengan model lain dan berkembang di beberapa kota besar di
Indonesia. Musisi yang terutama menggunakan model wirausaha dan model DIY harus
memiliki kreativitas artistik dan kreativitas bisnis. Artinya musisi selain
harus menguasai musik secara teknis, juga harus mau mempelajari bisnis dan
manajemen.
Pengembangan karir musisi saat ini pun
telah berganti dari linier menjadi bentuk sirkuler. Musisi dan penggemarnya tidak
lagi diperantarai sepenuhnya oleh label dan manajemen. Musisi dan penggemar
dapat melakukan interaksi langsung misalnya melalui akun-akun media sosial
seperti instagram. Media sosial dalam hal ini sangat penting kontribusinya
untuk kreativitas artistik musisi, karena kreativitas adalah konsep yang
dibangun secara sosiokultural melalui penilaian masyarakat dalam industri. Akhirnya
dalam membangun karir sebagai musisi, membangun brand merupakan hal yang penting. Brand ini merupakan hal yang bersifat kualitatif sehingga tidak
dapat serta-merta diukur melalui misalnya jumlah followers atau jumlah penjualan CD fisik karena ukuran itu sudah
tidak relevan dengan kondisi industri saat ini. Brand berarti keterkaitan antara lagu, gaya hidup, struktur sosial,
dan identitas musisi. Brand adalah
produk yang dikeluarkan oleh musisi: musiknya, image-nya, bahkan logonya. Itulah yang membuat media sosial sangat
penting untuk memfasilitasi proses membangun brand ini dan musisi sendiri harus memahami psikologi media dalam
membangunnya.
Sumber pendapatan musisi saat ini tidak
bisa lagi bergantung pada penjualan CD fisik. Umumnya musisi hanya dapat
mengandalkan pendapatan live performance sebagai
pendapatan utama. Sisanya ditunjang dari penjualan merchandise. CD fisik kini digolongkan sebagai produk merchandise, tidak lagi sebagai media
distribusi lagu yang utama. Untuk membangun perolehan pendapatan dengan gaya
ini, brand harus dibangun terlebih
dahulu. Dengan kata lain musisi dituntut untuk dapat memenuhi ekspektasi
kultural sekaligus tetap mempertahankan kepentingan komersialnya.
Dengan uraian di atas dapat kita golongkan
kreativitas pada industri musik abad XXI menjadi: kreativitas musikal dan
kreativitas paramusikal. Kreativitas musikal mencakup keahlian musik secara
teknis, menulis lagu, dan seterusnya. Sedangkan kreativitas paramusikal
mencakup pemahaman teknologi, aktivitas bisnis, persoalan kebudayaan, dan
seterusnya.
Kemampuan beradaptasi dengan cepat menjadi
kemampuan yang sangat penting bagi musisi abad ini. Para musisi harus siap
untuk berkolaborasi dengan bidang lain selain untuk keperluan pemasaran
mandiri, juga untuk mengembangkan model pendapatan alternatif. Kemajuan
penggunaan teknologi tidak hanya memiliki keuntungan berupa kemudahan
distribusi tetapi juga memiliki sisi buruk dalam penjualan album fisik.
Perubahan-perubahan perilaku pasar ini yang membuat kemampuan beradaptasi dan
fleksibilitas menjadi penting untuk kepentingan sustainabilitas karir musisi.
Dalam fleksibilitas ini, kerja kreatif musisi pada akhirnya tidak terbatas pada
kerja artistik saja, tetapi juga kemampuan kreatif dalam mengelola bisnis
terutama pada musisi yang akan menggunakan model wirausaha dan/atau model DIY.