esok belum pasti aku 'kan perlu bernyanyi

Selasa, 18 April 2017

,

Memasuki Industri Musik Saat Ini



Kredit Gambar: maxpixel.freegreatpicture.com
Persoalan yang paling mendasar dalam industri musik adalah kebutuhan musisi agar musiknya dapat “menjumpai” pendengarnya, tidak hanya sebatas distribusi karya baik secara fisik maupun digital. Maka memahami pola industri dan perilaku pendengar dalam kemajuan teknologi merupakan hal yang sangat penting bagi musisi dalam era teknologi ini. Kemajuan pesat teknologi akhir-akhir ini tentu saja ikut mengubah model-model bisnis dalam industri musik. Penelitian-penelitian akademik bahkan telah dilakukan di banyak bidang di dunia internasional untuk merumuskan model-model bisnis yang dapat diaplikasikan dalam memasuki era industri musik baru (digital) yang menjadi bagian dari industri musik abad XXI. Abad XII ini sangat membuka peluang bagi musisi untuk melakukan kolaborasi (kolaborasi juga bisa berarti membentuk/mengelola jaringan) dengan bidang-bidang selain musik. Uniknya, kolaborasi ini tidak hanya kolaborasi dengan bidang kesenian lain (puisi, teater, dan sejenisnya) tetapi juga bidang-bidang selain kesenian. Kemampuan untuk berkolaborasi inilah yang harus dimiliki oleh musisi-musisi abad ini sebagai dampak dari demokratisasi teknologi musik.
Industri musik populer (jazz, blues, punk, rock, dll) menjadi lebih fleksibel ketika dihadapkan dengan perkembangan teknologi. Teknologi yang dimaksud ini mencakup banyak aspek mulai dari teknologi rekaman, distribusi, hingga mengelola/merawat penggemar. Sebagai contoh, musisi tidak dapat lagi memaksakan para pendengar musiknya untuk selalu membeli rilisan fisik dan mendengarkan musik melalui CD player. Perilaku pendengar telah berubah demikian cepat. Saat ini orang-orang umumnya mendengarkan musik secara streaming melalui misalnya soundcloud dan youtube. Musisi sebagai produsen musik harus mau menerima kenyataan ini dan memahami pola baru dalam industri.
Perilaku para penggemar pun kini telah beralih menjadi sangat “aktif”, artinya memiliki kontribusi yang signifikan bagi karir musisi. Lewat media sosial, para penggemar ini bisa menyebarkan ulang apa pun hal terkait kegiatan dan produk para musisi, misalnya album baru, jadwal konser, dan seterusnya. Pendengar merupakan sejawat kolaborasi yang sangat baik di era ini.
Dalam industri musik populer, ada lima sumber pendapatan utama yaitu live performance, merchandise, song publishing, recorded music, dan sponsorship deals. Berdasarkan lima sumber ini maka muncul tiga model bisnis (berdasarkan penelitian Hughes, Evans, Morrow, dan Keith) yaitu model 360, model enterpreneur, dan model DIY. Pada model 360, label berperan sebagai perantara antara musisi dan pendengarnya secara 360 derajat. Model bisnis ini merupakan model lama atau mainstream yang biasanya digunakan oleh perusahaan major label. Kemudian karena model 360 ini bagi beberapa perusahaan sangat berisiko, muncul model wirausaha. Dalam model wirausaha, musisi dapat menentukan sendiri mana yang menjadi perantaranya. Label hanya mengelola hal yang menjadi keahliannya, tidak secara 360 derajat. Misalnya label A hanya melakukan rekaman, label B melakukan distribusi, dan label lain melakukan yang lain lagi. Label berperan sebagai penyedia jasa saja. Musisilah yang memilih dan membayar label mana yang akan digunakan, dengan begitu musisi tetap memiliki asetnya secara keseluruhan. Model ketiga adalah model DIY (do-it-yourself). Model ini lahir dari fenomena musik punk tahun 1980 yang kemudian berkembang hingga saat ini. Perangkat media pribadi saat ini sudah bisa memfasilitasi karir dengan model DIY. Musisi dapat merekam musiknya sendiri, juga memasarkannya melalui outlet-outlet digital. Meskipun penjualan CD telah jauh mengalami penurunan, musisi saat ini lebih mudah untuk melakukan pemasaran secara online. Itulah yang membuat era sekarang ini seperti kebanjiran rilis musik. Konsekuensinya, para musisi DIY harus melakukan semua pekerjaannya sehingga mengalami load pekerjaan yang tinggi. Musisi harus memiliki kemampuan untuk mengelola karirnya sendiri.
Secara finansial, musisi DIY harus menanggung resiko bisnisnya 100 persen. Kerugian ditanggung sendiri, pun jika mengalami keuntungan yang besar. Berbeda dengan model 360, kerugian menjadi tanggungan label dan kalaupun untung besar, musisi belum tentu mendapatkan bagian yang besar pula karena dari eksploitasi inilah keuntungan yang diperoleh perusahaan major label. Menurut para ahli bisnis, model DIY inilah yang akan menjadi “jurus” untuk memasuki industri musik abad ini. Meskipun sebenarnya ada banyak model selain tiga model yang disebutkan di atas. Model DIY ini pun telah berkomparasi dengan model lain dan berkembang di beberapa kota besar di Indonesia. Musisi yang terutama menggunakan model wirausaha dan model DIY harus memiliki kreativitas artistik dan kreativitas bisnis. Artinya musisi selain harus menguasai musik secara teknis, juga harus mau mempelajari bisnis dan manajemen.
Pengembangan karir musisi saat ini pun telah berganti dari linier menjadi bentuk sirkuler. Musisi dan penggemarnya tidak lagi diperantarai sepenuhnya oleh label dan manajemen. Musisi dan penggemar dapat melakukan interaksi langsung misalnya melalui akun-akun media sosial seperti instagram. Media sosial dalam hal ini sangat penting kontribusinya untuk kreativitas artistik musisi, karena kreativitas adalah konsep yang dibangun secara sosiokultural melalui penilaian masyarakat dalam industri. Akhirnya dalam membangun karir sebagai musisi, membangun brand merupakan hal yang penting. Brand ini merupakan hal yang bersifat kualitatif sehingga tidak dapat serta-merta diukur melalui misalnya jumlah followers atau jumlah penjualan CD fisik karena ukuran itu sudah tidak relevan dengan kondisi industri saat ini. Brand berarti keterkaitan antara lagu, gaya hidup, struktur sosial, dan identitas musisi. Brand adalah produk yang dikeluarkan oleh musisi: musiknya, image-nya, bahkan logonya. Itulah yang membuat media sosial sangat penting untuk memfasilitasi proses membangun brand ini dan musisi sendiri harus memahami psikologi media dalam membangunnya.
Sumber pendapatan musisi saat ini tidak bisa lagi bergantung pada penjualan CD fisik. Umumnya musisi hanya dapat mengandalkan pendapatan live performance sebagai pendapatan utama. Sisanya ditunjang dari penjualan merchandise. CD fisik kini digolongkan sebagai produk merchandise, tidak lagi sebagai media distribusi lagu yang utama. Untuk membangun perolehan pendapatan dengan gaya ini, brand harus dibangun terlebih dahulu. Dengan kata lain musisi dituntut untuk dapat memenuhi ekspektasi kultural sekaligus tetap mempertahankan kepentingan komersialnya.
Dengan uraian di atas dapat kita golongkan kreativitas pada industri musik abad XXI menjadi: kreativitas musikal dan kreativitas paramusikal. Kreativitas musikal mencakup keahlian musik secara teknis, menulis lagu, dan seterusnya. Sedangkan kreativitas paramusikal mencakup pemahaman teknologi, aktivitas bisnis, persoalan kebudayaan, dan seterusnya.
Kemampuan beradaptasi dengan cepat menjadi kemampuan yang sangat penting bagi musisi abad ini. Para musisi harus siap untuk berkolaborasi dengan bidang lain selain untuk keperluan pemasaran mandiri, juga untuk mengembangkan model pendapatan alternatif. Kemajuan penggunaan teknologi tidak hanya memiliki keuntungan berupa kemudahan distribusi tetapi juga memiliki sisi buruk dalam penjualan album fisik. Perubahan-perubahan perilaku pasar ini yang membuat kemampuan beradaptasi dan fleksibilitas menjadi penting untuk kepentingan sustainabilitas karir musisi. Dalam fleksibilitas ini, kerja kreatif musisi pada akhirnya tidak terbatas pada kerja artistik saja, tetapi juga kemampuan kreatif dalam mengelola bisnis terutama pada musisi yang akan menggunakan model wirausaha dan/atau model DIY.