Saya
akan membagikan ringkasan hasil pembacaan saya atas buku: “ESTETIKA MUSIK Sebuah
Pengantar” yang ditulis oleh Suka Hardjana. Buku yang dulu pernah terbit secara
terbatas pada tahun 1983 ini kini diterbitkan secara lebih luas oleh Penerbit
Art Music Today, sehingga saya juga bisa membacanya. Buku ini berisi lima bab
yang membahas persoalan estetika musik yang menurut saya masih relevan untuk
dibaca hari-hari ini.
Estetika
sebagai ilmu atau pengertian terus-menerus mengalami perkembangan dari zaman ke
zaman sehingga pengertian estetika sendiri masih simpang siur hingga hari ini. Meskipun
demikian Suka Hardjana memahami estetika sebagai pengetahuan atau penelaahan
tentang keindahan, maka cita rasa dan kesadaran intelektual manusia juga perlu
dipertimbangkan dalam upaya penelaahan karena ukuran-ukuran keindahan
berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Pengertian
musik pun berbeda-beda. Apa yang dulu dianggap musik oleh para komponis klasik
dapat dianggap sampah oleh para komponis kontemporer. Sebaliknya seorang
fanatik musik klasik akan menganggap musik kontemporer bukanlah musik!
Pemahaman kita tentang musik hari ini sangat jauh berbeda dengan pemahaman
orang Yunani ribuan tahun yang lalu. Sehingga pertanyaan “apa itu estetika?”
dan “apa itu musik?” menjadi sulit untuk dijawab.
Suka
Hardjana menjelaskan musik dengan cara menguraikan bagian-bagian atau
unsur-unsurnya, yaitu bunyi. Sifat-sifat bunyi sebagai materi dasar musik yaitu
memiliki volume atau intensitas (keras atau lemah); dinamika (yang membedakan
teriakan orang dalam bahaya dan teriakan orang memanggil walaupun sama kerasnya);
durasi (tempo); jangkauan atau interval (rendah atau tinggi); kualitas bunyi (misalnya
kasar atau halus); kuantitas bunyi; gerak bunyi (bunyi bergerak untuk mencapai
suatu titik tertentu); bentuk bunyi (bulat, datar, vertikal, cekung, dll.);
warna atau timbre (pada frekuensi yang sama, dua instrumen berbeda akan
menghasilkan warna yang berbeda); serta bobot dan karakter bunyi.
Kesadaran
manusia menjadi hal penting atas kehadiran musik secara nyata sehingga bunyi
saja tidak cukup untuk kita sebut sebagai musik. Musik kita kenal sebagai musik
apabila ia menjadi media ekspresi manusia. Nada, Frekuensi, Ritme, Melodi,
Harmoni, dan Warna adalah elemen-elemen yang membentuk bangunan musik. Untuk melengkapi
penjelasannya ini Suka Hardjana juga menguraikan persoalan keindahan alam dan
keindahan seni yang memiliki perbedaan-perbedaan. Juga sedikit mengulas
persoalan keindahan dari sudut pandang Socrates, Plato, Aristoteles, hingga
Kant. Saya melihat kecenderungan Suka Hardjana memandang fungsi musik adalah
untuk musik itu sendiri – meskipun kemudian dia menyatakan bukan menekankan
paham “l’art pour l’art” – baginya musik
harus dilihat dari musik itu sendiri.
Musik
adalah karya seni yang paling sulit untuk diterima pendengarnya secara langsung.
Musik adalah bahasa ekspresi yang harus diterjemahkan. Berbeda dengan sastra
sebagai bahasa verbal yang tidak memerlukan penjelasan atau penerjemahan. Juga berbeda
dengan seni rupa sebagai bahasa kesan yang bersifat visual, ia memerlukan pemahaman
tapi tidak memerlukan penerjemahan. Penerjemahan musik dilakukan melalui
pengertian dan pemahaman, tidak cukup melalui emosi, rasa, dan selera saja.
Suka
Hardjana juga mengulas beberapa aliran atau keyakinan di dalam musik. di Timur
para pencipta musik tradisi pada umumnya memandang estetika berkaitan dengan
ajaran etika, moral, agama, kepercayaan, dan sebagainya. Narasi dan teks
merupakan bagian yang penting di sini, misalnya dalam tembang macapat. Berbeda dengan
di Barat, komponis berada di garis depan dalam suatu karya musik sehingga
berbicara aliran adalah berbicara komponisnya. Bagi Bach misalnya sebagai
representasi aliran Barok, keagungan karya musik hanya bisa digolongkan dengan
kebesaran Tuhan, sehingga sikap estetiknya bertolak dari keyakinan ini. Berbeda
dengan aliran Klasik yang berpandangan bahwa manusia tidak dapat mengelak dari
hukum keseimbangan alam. Karya-karya Mozart mencerminkan keyakinan ini.
Aliran
lainnya lagi yaitu Romantik yang dipengaruhi oleh paham rasionalisme subjektif.
Mereka percaya bahwa manusia dapat mengungkap rahasia kehidupan. Aliran ini
mencoba untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab atau mencari sesuatu yang
belum pernah ditemukan. Sehingga dunia kreatif menjadi sangat subjektif, tiap
komponis adalah dirinya sendiri tanpa perlu prototipe yang menjadi panutan.
Aliran-aliran
ini ditolak oleh Debussy yang menganut paham Impresionisme. Baginya hidup adalah
perjalanan jauh, manusia tidak akan bisa menghayati seluruhnya, cukup memetik
kesan-kesannya saja, tak perlu mengungkap rahasianya. Maka karya-karya Debussy
bukan bermaksud untuk menyampaikan suatu pesan, tetapi mengungkapkan kesan atas
sesuatu. Kemudian terjadi semacam revolusi bunyi atau emansipasi keindahan pada
abad XX yang juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Komponis-komponis abad
XX sudah tidak menggunakan logika tonal dalam membuat komposisi musik. Revolusi
bunyi abad XX ini telah menuntut perubahan sikap dan pandangan estetika bunyi. Demikianlah
apa yang dulu dianggap bukan musik, hari ini ternyata dapat disebut sebagai
musik. Begitu juga sebaliknya.
Suka
Hardjana mengakhiri buku ini dengan menyatakan bahwa musik pada tingkatan yang
lebih lanjut bukan hanya sekedar bermain atau bernyanyi saja, tetapi juga
melibatkan pengetahuan tentang hal-hal yang lebih ilmiah, sehingga membutuhkan
studi wawasan yang sangat luas. Hal ini disebabkan oleh musik bukan hanya
gairah atau birahi, tetapi menyangkut pandangan manusia secara mendalam tentang
dunia, keyakinan estetis, dan tentang manusia itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar